Riza Chalid Tersangka Korupsi Pertamina: Sang "Godfather Minyak" Buron ke Singapura
"The Gasoline Godfather" kini tersangka korupsi Pertamina Rp 478,7 T dan buron di Singapura. Pengamat soroti keberanian Kejaksaan di era Prabowo. Kisah licinnya bisnis migas hingga jeratan hukum yang tak terduga.

Muhammad Riza Chalid. Mendengar namanya saja, para pejabat tinggi di negeri ini mungkin sudah merasa ciut. Sosoknya begitu licin, seumpama solar yang tumpah ruah. Namun, di bawah kendali Prabowo, Kejaksaan akhirnya menunjukkan taringnya dan berani menetapkannya sebagai tersangka. Sayangnya, ia kini berstatus buronan dan diduga kuat berada di Singapura. Mari kita coba menguak kisahnya sambil menyeruput kopi hangat di Kopikoe Jl. Nusa Indah 1 Pontianak.
Dulu, di masa ketika mentari belum sempat menampakkan diri namun harga BBM sudah melesat naik duluan, nama Riza Chalid sudah lebih dulu terukir dalam lembaran sejarah perminyakan nasional. Ia bukan sekadar pebisnis biasa. Sosoknya bak aurora borealis yang membelah langit gelap bisnis migas Indonesia. Julukan "The Gasoline Godfather" bukan sekadar basa-basi; itu adalah semacam pengakuan tak sadar bahwa siapa pun yang berkecimpung dalam urusan minyak, pasti pernah merasakan jejaknya, atau setidaknya pernah tersikut olehnya di lorong gelap tender yang penuh intrik.
Riza jelas bukan orang sembarangan. Gurita bisnisnya merajalela melalui perusahaan-perusahaan dengan nama-nama yang terdengar megah, seperti Straits Oil, Paramount Petroleum, hingga Cosmic Petroleum. Nama-nama itu, jika diucapkan cepat, terdengar seperti nama-nama penjahat super dari Marvel, dan memang, tingkah lakunya terkadang bisa disetarakan dengan Thanos. Dengan perkiraan omzet tahunan mencapai US$ 30 miliar dan kekayaan pribadi sebesar US$ 415 juta, Riza berhasil membangun citra dirinya sebagai makhluk setengah manusia, setengah drum solar: hangat, licin, dan sangat sulit untuk ditangkap.
Ia memilih tinggal di Singapura, jauh dari hiruk pikuk demonstrasi kenaikan BBM di Tanah Air. Layaknya seorang penguasa kerajaan energi sejati, ia telah melahirkan penerus, Muhammad Kerry Adrianto, putra kandungnya yang agaknya telah dilatih sejak kecil untuk menyusun mark-up dan menghitung margin keuntungan dari balik layar dashboard kilang minyak.
Namun, di puncak keagungan itu, ada satu hal yang tak bisa dibeli dengan setumpuk minyak: karma.
Pada tahun 2025, publik dikejutkan. Riza Chalid resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, yang terjadi selama periode 2018–2023. Diduga kuat, ia adalah pemilik manfaat (beneficial owner) dari PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa, dua entitas yang entah bagaimana muncul seperti jin dalam proyek penyewaan Terminal BBM Merak. Anehnya, terminal ini sebenarnya tidak dibutuhkan. Ibarat membeli AC untuk orang yang sudah tinggal di dalam kulkas.
Melalui permainan harga yang melesat bagai roket menuju Pluto, negara dipaksa membayar sangat mahal, dengan kerugian yang ditaksir mencapai Rp 285 triliun. Di sinilah kisahnya berubah drastis, dari sebuah epos kejayaan menjadi novel tragikomedi yang pahit.
Ternyata, bukan hanya Riza yang terjerat dalam daftar pemain. Anaknya, Kerry, yang sebelumnya sibuk mengelola KidZania dan klub basket Hangtuah, juga ikut terjebak dalam pusaran korupsi ini. Melalui PT Navigator Khatulistiwa, ia diduga mengambil keuntungan dari mark-up kontrak pengiriman minyak. Akibat ulahnya, negara merugi Rp 193,7 triliun, ditambah lagi dengan terkikisnya kepercayaan rakyat yang sudah bocor sejak skandal pertama kali mencuat.
Kini, Riza resmi menjadi buronan negara. Ia telah tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Diduga kuat ia masih berada di Singapura, mungkin sedang menikmati sarapan roti lapis sambil membaca berita tentang dirinya dengan ekspresi datar. Seolah-olah kata “tersangka” hanyalah ejaan alternatif dari “terlalu sukses.”
Di sinilah letak ironi yang paling manis sekaligus paling pahit. Seorang yang dulu mampu menggerakkan Pertamina dari balik layar, kini tak bisa menggerakkan kakinya untuk datang ke Gedung Bundar Kejagung. Seorang yang dulu bisa menaikkan harga minyak sedunia, kini bahkan tak sanggup menjelaskan mengapa negara harus kehilangan Rp 478,7 triliun hanya dari skema-skema absurd level dewa-dewa mark-up.
Riza yang dulu dipuja, kini hanyalah dongeng pahit bagi para mahasiswa hukum dan auditor muda. Ia yang dulu tak tersentuh, kini hanyalah nama dalam daftar DPO (Daftar Pencarian Orang).
Dunia migas memang licin. Muhammad Riza Chalid, Sang Raja Minyak, akhirnya terpeleset di kolam solar bikinannya sendiri. Namun, ia masih bisa tersenyum, karena di Singapura, hukum di sini tak bisa menyentuhnya. Ia tetap bisa mengendalikan minyak lewat jari-jari saktinya.

Ketua SatuPena Kalimantan Barat