Education

Al-Biruni: Guru Segala Ilmu - Biografi Ilmuwan Muslim Multidisiplin

Kenali Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni, ilmuwan abad ke-10 yang dijuluki "Guru Segala Ilmu". Temukan kontribusinya dalam astronomi, geodesi, antropologi, dan banyak bidang lainnya yang melampaui zamannya.

Al-Biruni: Guru Segala Ilmu - Biografi Ilmuwan Muslim Multidisiplin

Mengenal Al-Biruni, Guru Segala Ilmu

Saat mengkader wartawan, satu yang saya tanamkan, "Wartawan itu harus lebih pintar dari narasumber." Mau tidak mau segala pengetahuan harus dikuasai. Kalau saya piawai nulis politik, ekonomi, seni budaya, dunia, knowledge, kuliner, dll, itu bagian penguasaan segala ilmu. Ternyata, ada lho "Guru Segala Ilmu." Inilah yang mau saya bahas, sosok yang luar biasa dalam penguasaan pengetahuan. Sambil bersiap menuju Kota Singkawang, simak kisahnya, wak!

Pada tahun 973 M, di sebuah kota kecil bernama Kath di negeri Khwarazm, sebelum Uzbekistan punya bendera, sebelum manusia mengenal listrik dan sebelum Barat sadar bahwa bumi itu bulat, lahirlah seorang anak manusia yang kemudian membuat para ilmuwan ribuan tahun setelahnya merasa seperti murid TK yang baru belajar menghitung jari. Namanya, Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni. Namun sejarah tak puas hanya menyebutnya ilmuwan. Ia dijuluki "Guru Segala Ilmu", karena memberikan kontribusi ilmiah sebanyak jumlah bintang, meski hidup di zaman lilin dan pena bulu angsa.

Al-Biruni adalah teka-teki yang hidup. Ia bukan manusia biasa. Ia perpustakaan berjalan yang bisa berpikir lebih cepat dari prosesor M1, berbicara dalam banyak bahasa tanpa Google Translate, dan mengukur keliling bumi hanya dengan tongkat dan bayangan. Sementara manusia modern sibuk membuka aplikasi kompas untuk mencari kiblat, Al-Biruni sudah membuat rumus pengukuran arah kiblat sebelum ada aplikasi, sebelum ada layar, sebelum ada istilah "aplikasi" itu sendiri.

Dalam diamnya yang legendaris, ia menghitung radius bumi hingga mendekati 6.339 km, pencapaian yang membuat para profesor modern tercengang, lalu diam-diam mencari kalkulator. Saat Galileo masih latihan jalan, Al-Biruni sudah menulis ensiklopedia astronomi setebal keluhan netizen di kolom komentar. Ia bedakan astronomi dan astrologi saat dunia belum bisa bedakan mana fakta dan horoskop.

Ia tidak hanya menatap langit, tapi juga menyentuh tanah. Menjadi pelopor geodesi, mengukur bumi dengan triangulasi, dan menggambar peta-peta dunia dengan tangan yang tidak pernah gemetar, bahkan saat politik negerinya kacau. Al-Biruni pindah dari Khwarazm ke Jurjan bukan untuk kabur, tapi untuk mencari ketenangan menulis, karena menulis bagi dia lebih penting dari rebutan kursi istana.

Ia lalu pergi ke India, bukan untuk berwisata atau membeli oleh-oleh, tapi untuk tinggal selama 13 tahun, mempelajari bahasa Sansekerta, membaca kitab suci agama Hindu, berdialog dengan para Brahmana, dan menuliskan hasilnya dalam karya antropologi yang hari ini membuat para sosiolog hanya bisa berkata, “Ini terlalu modern untuk ukuran abad ke-11.” Ia tidak datang dengan misi menaklukkan, tapi dengan misi memahami. Sungguh, pemahaman adalah penaklukan yang paling abadi.

Ia juga menyelami dunia batu, logam, dan obat-obatan. Dari batu permata hingga farmakologi, dari filsafat hingga sejarah kalender, dari mineralogi hingga optik, semuanya diselami dengan satu prinsip yang ia pegang teguh, ilmu harus bebas, dan pencariannya harus tulus. Di saat banyak ilmuwan hari ini sibuk paten-mematenkan temuannya demi royalti, Al-Biruni menulis bukan untuk kemewahan, tapi untuk keabadian.

Ketika dunia hari ini bersorak menyambut kecerdasan buatan, Al-Biruni masih lebih menggentarkan. Ia tidak punya server, tidak ada RAM, bahkan listrik pun nihil, tapi pikirannya mengalahkan algoritma. Dia hidup tanpa Wi-Fi, tapi mampu menyambung semua titik semesta dalam satu jalinan pemikiran yang brilian. Di akhir hidupnya, ia tetap menulis. Tidak ada pensiun, tidak ada liburan, tidak ada podcast pamit.

Satu-satunya jejak digitalnya adalah kawah di bulan yang dinamai dengan namanya, Al-Biruni Crater. Ia tidak pernah ke bulan, tapi bulan pun ingin mengabadikan siapa dia. Sebab, bagaimana mungkin langit tidak mencintai dia yang mengungkap rahasianya?

Al-Biruni bukan hanya masa lalu. Ia adalah masa depan yang mendahului zamannya. Kita semua, masih tertinggal jauh, mengeja namanya pun kadang salah.

#camanewak

Bang Ros
Bang Ros

Ketua SatuPena Kalimantan Barat

Loading...
Read another articles ...